Pandangan Islam Tentang Pemimpin

 
   KEPEMIMPINAN dalam Islam dikenal
dengan istilah imamah, sedangkan pemimpin disebut imam. Kedudukan seorang pemimpin dalam Islam sangatlah penting. Bahkan keberadaannya fardhu kifayah, di mana setiap manusia akan berdosa apabila tidak adanya seorang pemimpin pun dan pembebanan hukum tersebut terbebas manakala salah seorang dari umat telah terpilih menjadi pemimpin.
Keberadaan seorang pemimpin yang diakui oleh syariat menunjukkan seorang pemimpin itu harus mengerti akan agamanya. Ilmu yang membahas tentang pemerintahan dalam Islam dikenal dengan Fiqh Siyasah.
Saidina Ali pernah berkata, “Lebih baik dipimpin oleh orang yang zalim daripada negara tidak ada pemimpin.” Ini menunjukkan bahwa keberadaan pemimpin dalam negara itu mutlak diperlukan. Dalam sebuah pengajian bersama Tgk Marhaban Habibi Bakongan (Waled Bakongan), beliau menjelaskan bahwa memilih pemimpin hukumnya wajib dan setiap insan akan berdosa jika tidak ada pemimpin walaupun cuma sehari. Melihat kenyataan yang seperti ini tentulah tidak ada alasan bagi kita untuk menolak keberadaan seorang pemimpin.
Untuk menjalankan aturan Allah Swt di muka dibutuhkan seorang pemimpin yang akan mengayomi manusia ke jalan yang benar sesuai dengan tuntutan syariat. Banyak sekali ayat yang menjelaskan tentang pentingnya pemimpin dalam kehidupan ini. Bahkan awal penciptaan Nabi Adam as di alam semesta ini pun dengan tujuan menjadikannya sebagai khalifatul ardhi (pemimpin di muka bumi) sebagaimana firman Allah dalam Alquran (Surah Albaqarah: 30).
 Masalah keadilan
Bicara masalah keadilan saat ini merupakan hal yang sangat sulit didapati pada seorang pemimpin. Namun, kita harus ingat bahwa keadilan itu tergantung masa dan tempat. Artinya, keadilan yang terdapat pada manusia sekarang dengan zaman Nabi dan para sahabat sangatlah berbeda. Begitu pula halnya dengan tempat, suatu wilayah dengan wilayah laen juga berbeda dan jangan kita samakan keadilan di Mekkah dengan Islam masa kini meskipun kita menyandang gelar Serambi Mekkah di zaman silam.
Berdasarkan data yang dikumpulkan oleh Badan Intelijen Negara (BIN) seperti yang diungkapan oleh Kepala BIN, Marciano Norman bahwa pada 2014 ini ada pergerakan yang dilakukan oleh sekelompok orang untuk menggagalkan pemilu akan semakin meningkat. Secara sepintas pergerakan ini memang layak mendapat sambutan postif dari masyarakat yang telah apatis dan kecewa dengan sikap para pemimpin. Namun perlu diingat, keberadaan pemimpin dalam sebuah negara itu hukumnya wajib ada baik mengacu pada Alquran maupun hukum positif.
Orang terburu menolak pemimpin hanya karena kepemimpinan tidak mampu membawa perubahan kepada bangsa. Ayat Alquran menjelaskan bahwa sembahyang itu dapat mencegah perbuatan keji dan munkar. Tetapi kenyataan yang ada orang yang shalat tidak sepenuhnya dapat terhindar dari perbuatan maksiat dan kewajiban shalat tetap berlaku wajib atasnya. Dalam sebuah kaidah dikenal bahwa tidak tercapai suatu hikmah, tidaklah menggugurkan kewajiban yang ada padanya.
Dalam sebuah kaidah ushuliyah berbunyi “al-umuru bimaqasidiha” (setiap perbuatan itu tergantung kepada niatnya). Artinya, seorang yang mencalonkan diri untuk menduduki suatu jabatan dengan tujuan ingin memperbaiki kehidupan umat serta jalan untuk menebar syiar agama merupakan suatu perbuatan yang mulia. Setiap jabatan yang diduduki akan senantiasa dimamfaatkan sesuai aturan agama dan hukum yang berlaku.
Di samping itu pula kewenangan yang dimilikinya itu dapat digunakan untuk kemaslahatan agama dengan membuat aturan-aturan yang berpihak dalam kemajuan ajaran agama. Jabatan itu penting agar kita punya pengaruh dan kewenangan sehingga dengan jabatan tersebut  kita akan bisa melahirkan kebijakan-kebijakan yang pada ujungnya memberi kesejahteraan dalam masyarakat
.Imam Al-Ghazali dalam Ihya Ulumuddin jilid 3 menjelaskan bahwa hakikat dari seorang pemimpin adalah pengaruh yaitu sejauh mana ia disegani dan dicintai oleh rakyat dengan hati yang iklhas. Rakyat perlu teliti dan jeli dalam memilih calon pemimpin tidak hanya melihat popularitas yang dibangun-bangun oleh sekelompok orang maupun yang diagung-agungkan oleh media massa sehingga jadi terkenal. Mengenal visi dan misi serta latar belakang seorang calon pemimpin itu lebih penting dari pada melihat dari partai mana dia maju sebagai kandidat pemimpin.
Menyeru pemboikotan pemilu serta menyuarakan masyarakat untuk meninggalkan hak pilihnya (golput) merupakan langkah mundur dalam upaya perbaikan bangsa. Undang-undang telah menjamin warga Negaranya untuk menentukan calon pemimpin selama lima tahun yang akan membawa perubahan taraf kehidupan bangsa. Ketika hak pilih diabaikan maka kita telah kehilangan kesempatan untuk memperbaiki kehidupan bangsa yang ujungnya berakibat kepada kita sendiri. Jika setiap orang menjadi pemilih yang cerdas, secara tidak lansung kita telah menolak pemimpin yang salah.
Jika diasumsikan ada lima calon pemimpin yang maju dengan latar belakang yang berbeda di mana calon A berperilaku buruk dan suka memukul, calon B perilakunya baik, calon C suka mencuri, calon D suka main wanita, dan calon E perilakunya sederhana.
Dari jumlah Daftar Pemilih Tetap (DPT) sebanyak 1.000 orang didapati hasil pemilunya oleh calon A sebanyak 300 suara, B 200 suara, C 170 suara, D 70 suara, dan E 45 suara. Sedangkan suara yang tidak sah/rusak sebanyak 45 dan yang tidak menggunakan hak pilih sebanyak 170 orang. Karena A diusung oleh partai berkuasa sehingga mendapati suara terbanyak meskipun orang yang diusung kepribadiannya kurang baik. Sedangkan B yang diusung oleh partai biasa walapun integritasnya baik, tetapi mendapati suara lebih rendah dari A.
 Menaati pemimpin
Jika dilihat dari fenomena di atas, seandainya orang yang golongan putih (golput) sebanyak 170 orang mau menggunakan hak pilihnya dengan memilih orang yang dianggap lebih baik dari calon-calon yang ada tentu hasil pemilu akan dimenangkan oleh calon pemimpin yang baik meskipun dia maju lewat partai yang sederhana. Kenyataannya, para golput pun harus menerima dipimpin oleh pemimpin yang buruk meskipun mereka tidak memilihnya, namun ketika terpilih jadi pemimpin tetap harus menaatinya.
Melihat kenyataan yang seperti inilah menurut penulis bahwa menjadi bagian dari golongan putih merupakan bentuk pilihan yang tidak rasional dan perlu dipertimbangkan. Sebuah hadis yang sering kita dengar, Nabi saw bersabda, “Barang siapa yang melihat kemungkuran hendaklah ia mencegah dengan tangannya (kekuasaan), jika ia tidak mampu dengan tangan lakukan dengan lisan (teguran, nasihat), jika tidak mampu dengan lisan, maka dengan hatinya. Dan itu selemah-lemah iman.” (HR. Bukhari).
Hadis tersebut menunjukkan setiap manusia mempunyai kewajiban yang sama untuk memperbaiki kehidupan sesama manusia. Asumsinya adalah ada sebuah kelompok berjumlah 15 orang, sepuluh orang yang sedang  merusak tiang rumah, sedangkan lima orang lainnya melarang perbuatan tersebut dan tidak dihiraukan larangan itu. Akan dibutuhkan waktu yang lama untuk merusak rumah dengan jumlah sepuluh orang dibandingkan dengan jumlah lima belas orang.
Jika kita misalkan sekarang orang tersebut sebagai anggota Dewan, sepuluh orang yang pekerjaannya melanggar aturan, sedangkan lima orang masih di jalan yang benar. Ketika kita mau menggunakan hak pilih kita secara baik dan benar, artinya memilih calon yang baik tanpa unsur dibayar mungkin jumlah orang yang menyelamatkan rumah tersebut menjadi sepuluh orang dan yang merusak tiang rumah cuma lima orang. Dengan demikian, rumah tersebut akan selamat dari tangan-tangan orang yang merusak.
Ketika kita yang punya pengetahuan lebih luas malah memilih untuk golput dan tidak peduli dengan lingkungan, dikhawatirkan justru akan terpilih mereka-mereka yang semuanya akan merusak tiang rumah tersebut. Rasionalkah kita menjadi golput?
Sebagai negara yang menganut sitem demokrasi, rakyat mempunyai hak penuh untuk memilih pemimpin serta wakil rakyatnya dalam setiap pemilu. Mamfaatkan kesempatan memilih sebaik mungkin karena pemimpin lahir dari tangan rakyat yang memberi akibat baik dan buruknya pula kepada rakyat sendiri. Jangan pernah mengabaikan kesempatan untuk memilih pemimpin dan wakil rakyat yang baik, mungkin saja satu suara kita akan memenangkan pemimpin adil yang selalu memegang teguh jabatannya sesuai ketentuan Allah dan hukum positif yang berlaku. Ketika itu terjadi, pemimpin tersebut akan menjadikan jabatannya sebagai jalan dakwah, menghidupkan syiar-syiar Islam yang telah padam, sehingga pahalanya akan kita petik bersama sebagai orang yang telah ikut memilihnya. Amin.
* Tgk. Usman Nazaruddin, S.HI, (http://aceh.tribunnews.com/2014/03/28/pemimpin-dalam-pandangan-islam?)

0 Response to "Pandangan Islam Tentang Pemimpin"

Post a Comment